Sejak kecil saya sudah
mengagumi kejeniusan pak Habibie. Saya ingat, dulu Ibu seringkali
bilang, “Belajar yang rajin biar hebat seperti pak Habibie!”. Bahkan
kakak laki-laki saya sempat bercita-cita untuk bekerja di IPTN/DI yang
ketika itu masih memakai nama Nurtanio. Meskipun tersebar berita miring
tentang pak Habibie, tak sedikitpun mempengaruhi kekaguman saya pada
beliau. Bagi saya, setiap orang pasti punya kekurangan dan kelebihan
yang bisa dijadikan pembelajaran untuk kita.
Saya memang belum
membaca novel Habibie & Ainun, dan baru berkesempatan menonton
filmya saja kemarin bersama mbak Iramawati dan ibundanya. Dari film ini,
banyak hal yang harus saya catat baik-baik dan saya jadikan
pembelajaran hidup.
Kesederhanaan Habibie
Di sepertiga bagian
awal film, saya terkesima dengan Habibie muda yang sangat pintar tapi
apa adanya. Ketika berkunjung ke rumah Ainun yang ketika itu sedang
didatangi banyak lelaki bermobil (saya yakin di tahun 60’an hanya
orang-orang “hebat” saja yang bisa memiliki mobil), Habibie justru
datang dengan menumpang becak. Saat ditanya, “Lho, kok, naik becak, yang
lainnya bawa mobil!”, Habibie hanya menjawab, “Biar saja!”.
Tegas Bersikap
Di bagian lain dari
film ini diceritakan bagaimana pak Habibie menolak dengan tegas “angpau”
dari pengusaha nakal. Di era sekarang, dimana banyak pejabat (baik
pejabat kelas atas maupun kelas bawah) yang aji mumpung,
mendulang harta dari uang pelicin, sikap pak Habibie sungguh suatu
panutan yang wajib ditiru. Beliau tidak silau dengan materi duniawi.
Bertanggung Jawab pada Tugas
Ibu Ainun marah saat
melihat sang suami yang terus memikirkan persoalan bangsa ini hingga
mengabaikan dirinya sendiri. Ini adalah salah satu adegan saat pak
Habibie menjadi orang nomor 1 di Indonesia era reformasi dulu. Saya,
yang ketika itu masih duduk di bangku kuliah dan melihat sendiri kondisi
negeri ini di tahun 98, bisa merasakan bagaimana beratnya tugas pak
Habibie menggantikan posisi pak Soeharto yang lengser keprabon setelah berkuasa selama 32 tahun.
Adegan ini
menunjukkan, bahwa seorang Habibie adalah seorang anak negeri yang
mencintai Indonesia dengan segenap jiwa raganya. Seseorang yang tidak
berhenti memikirkan nasib negeri ini, bertanggung jawab pada apa yang
dibebankan di pundaknya.
Lelaki Romantis
Lelaki romantis di
mata saya bukanlah lelaki yang hanya mengumbar kata-kata gombal. Bukan
pula lelaki yang rajin membawakan seikat bunga mawar. Bagi saya definisi
romantis ada dalam bentuk perbuatan, tanggung jawab, dan penuh
pengertian. Ini yang saya tangkap dari sosok pak Habibie. Bagaimana saya
dibuat terharu melihat tekad pak Habibie untuk bisa membuat pesawat
terbang sendiri, selain untuk kebanggaan negeri, juga didedikasikan
untuk istrinya, bu Ainun. Atau, saat penuh kerelaan pak Habibie
mengijinkan bu Ainun kembali berkiprah di dunia kedokteran, meski dengan
konsekuensi harus berpisah sementara waktu. Penggambaran sempurna sosok
suami yang mau memahami apa yang diinginkan pasangannya. Keromantisan
yang lain adalah rasa cinta yang selalu ditunjukkan dalam suka dan duka,
hingga maut menjemput bu Ainun….hiks…sungguh adegan yang mengharu biru.
Ainun, Istri Hebat Di Balik Lelaki Hebat
Selain sosok pak
Habibie, sosok bu Ainun juga tak kalah menginspirasi. Beliau mampu
menjadi seorang pendamping yang baik, bukan saja dalam seputar urusan
rumah tangga, tapi hingga ke hal-hal yang terkait dengan pekerjaan pak
Habibie. Memberi support bukan hanya dalam bentuk kata-kata
lisan, tapi juga dalam tindakan. Turut bersikap waspada, manakala ada
sesuatu yang mengancam perjalanan karir sang suami. Bersikap sebagai
seorang istri yang betul-betul mampu menjadi pendamping dalam segala
hal.
Ibu Ainun, yang
notabene seorang dokter pun, mau melepaskan karirnya sebagai dokter saat
sosoknya lebih dibutuhkan sebagai seorang istri dan seorang ibu. Satu
adegan, manakala sang anak sakit, dan bu Ainun merasa bersalah karenanya
membuat saya ikut tertohok. Sebagai seorang ibu, yang juga kerap
dilanda perasaan serupa saat anak-anak sakit, saya kerap pula merasakan
dilema sebagai perempuan bekerja dan ibu rumah tangga.
Penggambaran tentang
istri yang santun penuh setia juga tercermin dari sikap bu Ainun yang
selalu menyiapkan sendiri obat-obatan untuk pak Habibie. Meskipun sakit
yang diderita Ibu jauh lebih parah. Bahkan di tengah sakit parahnya,
sebelum berangkat ke Jerman untuk berobat, bu Ainun masih menyempatkan
menuliskan daftar obat yang harus diminum sang suami. Ah, sungguh istri
yang penuh pengabdian.
Satu lagi,
penggambaran kekuatan cinta mereka. Di detik-detik terakhir hidup bu
Ainun, sebuah dialog antara antara sahabat bu Ainun dan pak Habibie
membuat dada saya merasa sesak, sesunggukan terharu. “Ainun tidak pernah merasa berkorban untukmu, tapi dia memang menyiapkan dirinya untukmu…”. Ugh….so sweet dan indah nian jalinan cinta mereka.
Satu kata yang saya rasa juga menyihir banyak orang dalam adegan film ini, sebuah kalimat dari pak Habibie, Tuhan, terima kasih karena Engkau telah melahirkan aku untuk Ainun dan melahirkan Ainun untukku……
Sumber:
http://hiburan.kompasiana.com/film/2012/12/26/pembelajaran-hidup-dari-kisah-habibie-ainun-519841.html
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !