Restu Ramadhan Blog :
Home » , » Pembelajaran Hidup dari Kisah Habibie & Ainun

Pembelajaran Hidup dari Kisah Habibie & Ainun

Written By Unknown on Kamis, 10 Januari 2013 | 08.08


(sumber gambar : www.boleh.com)

Sejak kecil saya sudah mengagumi kejeniusan pak Habibie. Saya ingat, dulu Ibu seringkali bilang, “Belajar yang rajin biar hebat seperti pak Habibie!”. Bahkan kakak laki-laki saya sempat bercita-cita untuk bekerja di IPTN/DI yang ketika itu masih memakai nama Nurtanio. Meskipun tersebar berita miring tentang pak Habibie, tak sedikitpun mempengaruhi kekaguman saya pada beliau. Bagi saya, setiap orang pasti punya kekurangan dan kelebihan yang bisa dijadikan pembelajaran untuk kita.
Saya memang belum membaca novel Habibie & Ainun, dan baru berkesempatan menonton filmya saja kemarin bersama mbak Iramawati dan ibundanya. Dari film ini, banyak hal yang harus saya catat baik-baik dan saya jadikan pembelajaran hidup.
Kesederhanaan Habibie
Di sepertiga bagian awal film, saya terkesima dengan Habibie muda yang sangat pintar tapi apa adanya. Ketika berkunjung ke rumah Ainun yang ketika itu sedang didatangi banyak lelaki bermobil (saya yakin di tahun 60’an hanya orang-orang “hebat” saja yang bisa memiliki mobil), Habibie justru datang dengan menumpang becak. Saat ditanya, “Lho, kok, naik becak, yang lainnya bawa mobil!”, Habibie hanya menjawab, “Biar saja!”.
Seorang Habibie yang hebat, dengan kecerdasan otak yang memukau banyak orang, termasuk para koleganya di Jerman, tanpa sungkan atau gengsi bersikap apa adanya. Satu hal yang menurut saya perlu dicatat, bukan materi (yang hanya titipan) yang harus kita sombongkan tapi bersikap apa adanya itu jauh lebih berarti. Ya, meskipun banyak lelaki bermobil yang naksir bu Ainun semasa gadis, toh, pak Habibie yang terpilih menjadi pendampingnya.

Tegas Bersikap
Di bagian lain dari film ini diceritakan bagaimana pak Habibie menolak dengan tegas “angpau” dari pengusaha nakal. Di era sekarang, dimana banyak pejabat (baik pejabat kelas atas maupun kelas bawah) yang aji mumpung, mendulang harta dari uang pelicin, sikap pak Habibie sungguh suatu panutan yang wajib ditiru. Beliau tidak silau dengan materi duniawi.
Bertanggung Jawab pada Tugas
Ibu Ainun marah saat melihat sang suami yang terus memikirkan persoalan bangsa ini hingga mengabaikan dirinya sendiri. Ini adalah salah satu adegan saat pak Habibie menjadi orang nomor 1 di Indonesia era reformasi dulu. Saya, yang ketika itu masih duduk di bangku kuliah dan melihat sendiri kondisi negeri ini di tahun 98, bisa merasakan bagaimana beratnya tugas pak Habibie menggantikan posisi pak Soeharto yang lengser keprabon setelah berkuasa selama 32 tahun.
Adegan ini menunjukkan, bahwa seorang Habibie adalah seorang anak negeri yang mencintai Indonesia dengan segenap jiwa raganya. Seseorang yang tidak berhenti memikirkan nasib negeri ini, bertanggung jawab pada apa yang dibebankan di pundaknya.
Lelaki Romantis
Lelaki romantis di mata saya bukanlah lelaki yang hanya mengumbar kata-kata gombal. Bukan pula lelaki yang rajin membawakan seikat bunga mawar. Bagi saya definisi romantis ada dalam bentuk perbuatan, tanggung jawab, dan penuh pengertian. Ini yang saya tangkap dari sosok pak Habibie. Bagaimana saya dibuat terharu melihat tekad pak Habibie untuk bisa membuat pesawat terbang sendiri, selain untuk kebanggaan negeri, juga didedikasikan untuk istrinya, bu Ainun. Atau, saat penuh kerelaan pak Habibie mengijinkan bu Ainun kembali berkiprah di dunia kedokteran, meski dengan konsekuensi harus berpisah sementara waktu. Penggambaran sempurna sosok suami yang mau memahami apa yang diinginkan pasangannya. Keromantisan yang lain adalah rasa cinta yang selalu ditunjukkan dalam suka dan duka, hingga maut menjemput bu Ainun….hiks…sungguh adegan yang mengharu biru.
Ainun, Istri Hebat Di Balik Lelaki Hebat
Selain sosok pak Habibie, sosok bu Ainun juga tak kalah menginspirasi. Beliau mampu menjadi seorang pendamping yang baik, bukan saja dalam seputar urusan rumah tangga, tapi hingga ke hal-hal yang terkait dengan pekerjaan pak Habibie. Memberi support bukan hanya dalam bentuk kata-kata lisan, tapi juga dalam tindakan. Turut bersikap waspada, manakala ada sesuatu yang mengancam perjalanan karir sang suami. Bersikap sebagai seorang istri yang betul-betul mampu menjadi pendamping dalam segala hal.
Ibu Ainun, yang notabene seorang dokter pun, mau melepaskan karirnya sebagai dokter saat sosoknya lebih dibutuhkan sebagai seorang istri dan seorang ibu. Satu adegan, manakala sang anak sakit, dan bu Ainun merasa bersalah karenanya membuat saya ikut tertohok. Sebagai seorang ibu, yang juga kerap dilanda perasaan serupa saat anak-anak sakit, saya kerap pula merasakan dilema sebagai perempuan bekerja dan ibu rumah tangga.
Penggambaran tentang istri yang santun penuh setia juga tercermin dari sikap bu Ainun yang selalu menyiapkan sendiri obat-obatan untuk pak Habibie. Meskipun sakit yang diderita Ibu jauh lebih parah. Bahkan di tengah sakit parahnya, sebelum berangkat ke Jerman untuk berobat, bu Ainun masih menyempatkan menuliskan daftar obat yang harus diminum sang suami. Ah, sungguh istri yang penuh pengabdian.
Satu lagi, penggambaran kekuatan cinta mereka. Di detik-detik terakhir hidup bu Ainun, sebuah dialog antara antara sahabat bu Ainun dan pak Habibie membuat dada saya merasa sesak, sesunggukan terharu. “Ainun tidak pernah merasa berkorban untukmu, tapi dia memang menyiapkan dirinya untukmu…”. Ugh….so sweet dan indah nian jalinan cinta mereka.
Satu kata yang saya rasa juga menyihir banyak orang dalam adegan film ini, sebuah kalimat dari pak Habibie, Tuhan, terima kasih karena Engkau telah melahirkan aku untuk Ainun dan melahirkan Ainun untukku……

Sumber:
http://hiburan.kompasiana.com/film/2012/12/26/pembelajaran-hidup-dari-kisah-habibie-ainun-519841.html
Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Viva.co.id

Viva.co.id

Viva.co.id

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Proudly powered by Blogger
Copyright © 2011. Restu Ramadhan - All Rights Reserved
Template Design by Creating Website Published by Mas Template